Buletin Nasional. Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengungkapkan bangsa Indonesia lahir dari kegiatan berpikir sekelompok orang yang awalnya terbatas, tetapi lambat laun menjadi gelombang dan akhirnya menjadi perasaan dan pikiran bersama.
Karena Indonesia lahir dari proses berpikir, lanjut Fahri, krisis yang paling besar di republik ini tidak akan terjadi akibat krisis ekonomi karena ekonomi di Indonesia ini masih ruler ekonomi, bahkan ekonomi berbasis sumber daya alam.
"Saya baru menulis buku yang judulnya itu 'Mengapa Indonesia Belum Sejahtera', di samping kalau kita membandingkan secara statistik, memang Indonesia masuk ke dalam kategori belum sejahtera," ujar Fahri, dalam keterangan tertulis, Senin (19/11/2018).
Hal ini dia sampaikan dalam acara deklarasi Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi) Kota Binjai, Sumatera Utara, di Koetaradja Coffee, Sabtu (17/11), dengan tema 'Menjemput Pemimpin dan Arah Baru Indonesia'.
Fahri juga menilai, jika dibandingkan dengan negara-negara yang merdeka bersamaan dengan Indonesia, income per capita negara Indonesia masih dalam kategori rendah. Setiap orang hanya memiliki pendapatan sekitar USD 3.800 atau maksimal USD 4.000 per tahun, yang jika dirupiahkan belum mencapai Rp 50 juta per tahun per orang.
Bahkan, menurutnya, masih ada yang lebih rendah dari itu. Itu rata-rata, kalau ada yang rata-ratanya seperti itu, artinya ada yang hanya mencapai Rp 20 juta atau yang Rp 10 juta dan seterusnya ke bawah.
"Sementara negara seperti Malaysia sudah belasan sekarang, Thailand sudah 8 ribu, dan bahkan Vietnam yang baru sudah 6 ribu. Kalau kita sebut China, negara itu sudah 15 ribu, Korea Selatan sudah 24 ribu. Apalagi Singapura sudah 50-an ribu, begitu juga Jepang, yang pada saat kita merdeka, mereka dihujani bom atom yang menghancurkan Hirosima dan Nagasaki, mereka 40.400, sementara kita masih 3.800," bebernya.
Jadi, lanjut Fahri, dalam kategori itu memang angka secara statistik Indonesia masih rendah sekali. Tetapi orang Indonesia sulit kalau misalnya sampai seperti Venezuela atau negara-negara Amerika Latin sekarang yang tidak ada lagi listrik.
"Rasanya kalau kita ini, di antara sebabnya kita nggak merasa miskin itu adalah karena kemiskinan itu disedot dalam satu sistem yang luar biasa. Saya sering katakan bahwa agama yang membuat kita merasa tidak pernah miskin, karena selalu mengajarkan untuk bersyukur dan menerima kehidupan ini apa adanya," katanya.
Bukan hanya itu, menurut Fahri, bahkan agama juga punya prosesi yang membuat semuanya itu mengentaskan kemiskinan bersama-sama. Selain zakat, infak, dan sedekah, paling tidak sebulan (dalam bulan puasa) tidak ada orang lapar karena ada gratis berbuka puasa dan sahur yang hampir sebulan menemukan makanan di mana-mana.
"Agama mengabsurd ketidakmampuan negara dalam mengatasi kemiskinan," ucap anggota DPR asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.
Kemudian, kata Fahri, diajarkan juga bahwa sistem kekeluargaan kita menyerap kemiskinan. Tidak ada orang membiarkan anak atau saudaranya miskin yang orang Jawa bilang 'mangan ora mangan pokoke ngumpul'. Ini tradisi sehingga kemiskinan diserap di dalam rumah tangga.
"Coba tengok kiri-kanan, rumah tangga kita masing-masing, terutama keluarga besar, berapa dalam keluarga kita sebetulnya orang yang betul-betul punya pekerjaan dan bekerja? Semua ditopang dan diserap dalam sistem keluarga. Begitu juga dengan sistem sosial," sebutnya.
Selanjutnya, alam di Indonesia, seperti hutan, laut, dan sungai, yang ada masih menopang kemiskinan rakyat Indonesia. Jadi, Fahri mengatakan, kalau krisis di Indonesia ini sulit, akan terjadi krisis ekonomi. Krisis di Indonesia ini akan terjadi apabila yang langkah awal membentuk Indonesia, berupa pikiran-pikiran yang menggeliat itu hilang.
"Ini yang sering saya ingatkan kepada Bapak Presiden yang terlalu sibuk membangun infrastruktur fisik, tetapi jarang bercakap-cakap dengan rakyat. Yang menghancurkan Indonesia bukan ketiadaan infrastruktur fisik, yang menghancurkan Indonesia itu, ketika pikiran tidak dihormati," ujarnya
"Infrastruktur berpikir dan percakapan sesama warga negara itu yang tidak ada. Itu yang akan menghancurkan bangsa Indonesia. Dan, itu lah kegelisahan yang kita hadapi sekarang ini, Karena percakapan tidak lagi menemukan strukturnya yang baik," pungkas Fahri.
Karena Indonesia lahir dari proses berpikir, lanjut Fahri, krisis yang paling besar di republik ini tidak akan terjadi akibat krisis ekonomi karena ekonomi di Indonesia ini masih ruler ekonomi, bahkan ekonomi berbasis sumber daya alam.
"Saya baru menulis buku yang judulnya itu 'Mengapa Indonesia Belum Sejahtera', di samping kalau kita membandingkan secara statistik, memang Indonesia masuk ke dalam kategori belum sejahtera," ujar Fahri, dalam keterangan tertulis, Senin (19/11/2018).
Hal ini dia sampaikan dalam acara deklarasi Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi) Kota Binjai, Sumatera Utara, di Koetaradja Coffee, Sabtu (17/11), dengan tema 'Menjemput Pemimpin dan Arah Baru Indonesia'.
Fahri juga menilai, jika dibandingkan dengan negara-negara yang merdeka bersamaan dengan Indonesia, income per capita negara Indonesia masih dalam kategori rendah. Setiap orang hanya memiliki pendapatan sekitar USD 3.800 atau maksimal USD 4.000 per tahun, yang jika dirupiahkan belum mencapai Rp 50 juta per tahun per orang.
Bahkan, menurutnya, masih ada yang lebih rendah dari itu. Itu rata-rata, kalau ada yang rata-ratanya seperti itu, artinya ada yang hanya mencapai Rp 20 juta atau yang Rp 10 juta dan seterusnya ke bawah.
"Sementara negara seperti Malaysia sudah belasan sekarang, Thailand sudah 8 ribu, dan bahkan Vietnam yang baru sudah 6 ribu. Kalau kita sebut China, negara itu sudah 15 ribu, Korea Selatan sudah 24 ribu. Apalagi Singapura sudah 50-an ribu, begitu juga Jepang, yang pada saat kita merdeka, mereka dihujani bom atom yang menghancurkan Hirosima dan Nagasaki, mereka 40.400, sementara kita masih 3.800," bebernya.
Jadi, lanjut Fahri, dalam kategori itu memang angka secara statistik Indonesia masih rendah sekali. Tetapi orang Indonesia sulit kalau misalnya sampai seperti Venezuela atau negara-negara Amerika Latin sekarang yang tidak ada lagi listrik.
"Rasanya kalau kita ini, di antara sebabnya kita nggak merasa miskin itu adalah karena kemiskinan itu disedot dalam satu sistem yang luar biasa. Saya sering katakan bahwa agama yang membuat kita merasa tidak pernah miskin, karena selalu mengajarkan untuk bersyukur dan menerima kehidupan ini apa adanya," katanya.
Bukan hanya itu, menurut Fahri, bahkan agama juga punya prosesi yang membuat semuanya itu mengentaskan kemiskinan bersama-sama. Selain zakat, infak, dan sedekah, paling tidak sebulan (dalam bulan puasa) tidak ada orang lapar karena ada gratis berbuka puasa dan sahur yang hampir sebulan menemukan makanan di mana-mana.
"Agama mengabsurd ketidakmampuan negara dalam mengatasi kemiskinan," ucap anggota DPR asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.
Kemudian, kata Fahri, diajarkan juga bahwa sistem kekeluargaan kita menyerap kemiskinan. Tidak ada orang membiarkan anak atau saudaranya miskin yang orang Jawa bilang 'mangan ora mangan pokoke ngumpul'. Ini tradisi sehingga kemiskinan diserap di dalam rumah tangga.
"Coba tengok kiri-kanan, rumah tangga kita masing-masing, terutama keluarga besar, berapa dalam keluarga kita sebetulnya orang yang betul-betul punya pekerjaan dan bekerja? Semua ditopang dan diserap dalam sistem keluarga. Begitu juga dengan sistem sosial," sebutnya.
Selanjutnya, alam di Indonesia, seperti hutan, laut, dan sungai, yang ada masih menopang kemiskinan rakyat Indonesia. Jadi, Fahri mengatakan, kalau krisis di Indonesia ini sulit, akan terjadi krisis ekonomi. Krisis di Indonesia ini akan terjadi apabila yang langkah awal membentuk Indonesia, berupa pikiran-pikiran yang menggeliat itu hilang.
"Ini yang sering saya ingatkan kepada Bapak Presiden yang terlalu sibuk membangun infrastruktur fisik, tetapi jarang bercakap-cakap dengan rakyat. Yang menghancurkan Indonesia bukan ketiadaan infrastruktur fisik, yang menghancurkan Indonesia itu, ketika pikiran tidak dihormati," ujarnya
"Infrastruktur berpikir dan percakapan sesama warga negara itu yang tidak ada. Itu yang akan menghancurkan bangsa Indonesia. Dan, itu lah kegelisahan yang kita hadapi sekarang ini, Karena percakapan tidak lagi menemukan strukturnya yang baik," pungkas Fahri.
Checking your browser before accessingPlease enable Cookies and reload the page. This process is automatic. Your browser will redirect to your requested content shortly. Please allow up to 5 seconds… |